Senin, Desember 29, 2008

Tentang Mimpi Ikal dan A Ling

Akhirnya, aku meng-khatam-kan juga Maryamah Karpov. Setelah sekian detik, sekian menit, sekian jam, sekian hari, sekian minggu, dan sebulan lebih satu hari sejak buku pamungkas ini di-launching 28 November lalu. Semuanya berakhir pagi ini, 08.35 WIB, pagi 1 Muharram 1430 H, 29 Desember 2008.


Tapi aku tak ingin semuanya berakhir begitu saja. Aku ingin semuanya masih tertinggal di mataku, seperti tatapan yang tak pernah kupalingkan dari lembaran-lembarannya; di bibirku, seperti senyum ketika melihat A Ngong untuk kelima kalinya kalah taruhan dengan A Tong; juga di hatiku, seperti Ikal yang tak pernah lelah mengejar A Ling yang telah membawa pergi hatinya belasan tahun.

***

Begitu memesonanya Maryamah Karpov hingga aku tak pernah bisa lama-lama beranjak darinya. Mungkin sama halnya yang dirasakan Ikal pada A Ling. “Cinta rupanya dapat menisbat waktu, hingga tak berarti.” Ya, aku sepakat denganmu Ikal.

Masih lekang di otakku, ketika kemarin beberapa bulan yang lalu aku takjub dengan semangat Laskar Pelangi untuk merengkuh pendidikan, aku kagum dengan mimpi-mimpi IKal dan Arai untuk menjelajahi Eropa dan menjamah Afrika, dan aku berucap ‘Subhanallah’ ketika mimpi-mimpi mereka benar-benar dipeluk Tuhan. Ya, aku masih ingat pada mereka dan mimpi-mimpinya.

Dan di Maryamah Karpov, akhirnya Ikal menemukan mimpinya yang selama ini belum ditemukan juga. A Ling. Ya, A Ling yang telah hilang belasan tahun sejak mereka kelas 2 SMP. Dan Ikal menemukan A Ling setelah mempertaruhkan nyawanya dengan lanun Selat Malaka yang terkenal kejam.

***

Bahagia menyelimuti kalbunya sejak dini hari itu. Sejak dini hari ketika dia menemukan kembali kuku-kuku cantik jari-jemari itu. “Yang paling bahagia dari yang terbahagia tentu saja aku.”

Namun sungguh tak dinyana, semua berakhir begitu saja. “Di tengah hamparan ilalang, A Ling berdiri sendirian menungguku. Kami hanya diam, tapi A Ling tahu apa yang telah terjadi. Ia terpaku lalu luruh. Ia bersimpuh dan memeluk lututnya, Matanya semerah saga. Ia sesenggukan sambil meremas ilalang tajam. Seakan tak ia rasakan darah mengucur di telapaknya. Ia menarik putus kalungnya, menggulung lengan bajunya, dan memperlihatkan rajah kupu-kupu hitam di bawah sinar bulan.” Semua asa yang telah hadir sejak A Ling berkata pada Ikal, “Curi aku dari pamanku” minggu siang itu, hancur begitu saja.

Aku telah katakan tadi, aku tak ingin semuanya berakhir begitu saja. Dan Ikal tak menepati janji. Dia biarkan perlahan awan kelabu di langit turun menjadi titik gerimis.
Aku tak tahu, padang sabana di belahan dunia yang mana lagi yang akan ditempuhnya, atau lanun di samudera yang mana lagi yang akan ditaklukkannya untuk merengkuh A Ling. Agar dapat memakai kata Hirata di belakang namanya, ya A Ling Hirata. Atau agar ia dapat melihat A Ling untuk kali terakhir sebelum tidur dan kali pertama ketika bangun.

***

Ikal tak pernah memberi jawaban, sejak ia mendapati wajah ayahnya ketika menyampaikan maksudnya untuk meminang A Ling di malam itu. ” Matanya kosong, wajahnya pias.” Ikal tahu makna wajah ayahnya yang mengatakan tidak, tidak dari ayahnya untuk pertama kali bagi Ikal dalam hidupnya.

Aku masih berharap semuanya tak berakhir begitu saja. Aku masih berdoa ini tak hanya tetralogi. Aku ingin suatu hari nanti, aku membaca sebuah kalimat pendek di bagian bawah cover depan buku Andrea Hirata, “Buku kelima dari pentalogi Laskar Pelangi.” Karena aku juga tak ingin A Ling menangis, sama seperti Ikal.

Kamar kos sempit di pagi yang mendung itu

Medan, 29 Desember 2008 : 09.20 WIB


Like the Post? Do share with your Friends.

1 komentar:

  1. setuju....
    semakin menghayati keempat novel itu semakin membuatku ikut merindukan a ling dan timbul semangat mencari a ling ku sendiri...hehehebuatku ikut merindukan a ling dan timbul semangat mencari a ling ku sendiri...hehehe

    BalasHapus

IconIconIconFollow Me on Pinterest

Label

Blogger news

Blogroll

What's Hot