Tampilkan postingan dengan label Tetralogi Laskar Pelangi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tetralogi Laskar Pelangi. Tampilkan semua postingan

Senin, Desember 29, 2008

Maryamah Karpov dan Gadis Pemain Biola

Awalnya aku tak tahu, siapa itu Maryamah Karpov? Kenapa namanya yang menjadi judul buku keempat dari tetralogi Laskar Pelangi? Seistimewa apa hingga namanya yang menjadi judul, mewakili semua isi buku tersebut? Dan siapa pula gadis cantik pemain biola yang menghiasi cover buku tersebut? Kenapa harus dia yang menjadi cover buku Maryamah Karpov? Kenapa bukan A Ling yang merupakan mimpi Ikal yang diceritakan dalam buku tersebut?


Memang untuk pertanyaan kedua dan ketiga, serta yang kelima dan keenam aku masih belum mendapat jawaban pasti. Namun setidaknya, aku sudah tahu siapa itu Maryamah Karpov, dan siapa gadis cantik pemain biola di cover buku keempat Andrea Hirata tersebut. Yang nantinya bisa mengarahkan kita untuk menjawab semua pertanyaan di atas.

***

Maryamah Karpov adalah tetangga Ikal yang hidup dalam kemiskinan. Saking miskinnya, ia tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan. Mungkin Anda masih ingat, dalam buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Maryamah dan anaknya yang suka main biola meminjam beras kepada ibu Ikal. Ketika itu, dia ingin menukarkan biola anaknya dengan sekantong beras. Tapi ibu Ikal berbaik hati memberikan beras tersebut tanpa imbalan apapun.

Tapi kenapa namanya Maryamah Karpov yang berbau Rusia, sedangkan dia adalah orang Melayu? Tentu akan muncul pertanyaan ini di benak Anda. Sama seperti aku ketika pertama kali membaca judul buku keempat Andrea Hirata ini.

Mak Cik Maryamah, begitulah Ikal biasa memanggilnya, punya keahlian yang tak dimiliki oleh masyarakat Melayu Belitong di kampung Ikal. Mak Cik Maryamah sangat pintar dalam bermain catur, terutama dalam memainkan langkah-langkah Karpov yang begitu terkenal dalam dunia percaturan. Saking pintarnya, ia sering kali mengajari orang-orang Melayu yang sangat hobi main catur di warung-warung kopi, termasuk di Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi di pasar ikan Belitong.

Lalu apa hubungannya dengan langkah-langkah catur Karpov? Awalnya, aku tidak tahu juga kenapa ia bernama Maryamah Karpov. Aku berpikir, mungkin Mak Cik Maryamah ini bersuamikan orang Rusia yang bernama belakang Karpov, sehingga dia harus memakai nama belakang suaminya pula. Dan jadilah Maryamah Karpov. Namun ternyata dugaanku salah.

Pertanyaan ini akhirnya terjawab juga. Jika Anda telah membaca Maryamah Karpov lebih dari seperempat jumlah halamannya, maka Anda akan mengerti, kenapa ia bernama Maryamah Karpov.

“Orang Melayu amat asosiatif dan metaforik, penuh perlambang dan perumpamaan. Hal itu terefleksi pada hobi mereka berpantun dan menjuluki orang. Meski Islam jelas melarang panggilan-panggilan yang buruk, mereka nekad saja. Gelar-gelar aneh itu umumnya ditujukan untuk menghina. Karena itu, setiap orang berusaha menghindarinya. Namun, julukan dalam masyarakat kami seumpama penyakit cacar. Bisa menimpa siapa saja sembarang waktu. Ia agaknya telah menjadi bagian dari nasib orang Melayu. Julukan dapat berangkat dari hal yang amat sederhana, misalnya ciri-ciri fisik, atau lebih kompleks, dari profesi, kebiasaan, obsesi, atau kejadian.” (Maryamah Karpov, 177-178)

Ya, orang Melayu itu punya hobi menjuluki orang. Mungkin Anda kenal dengan Berahim Harap Tenang, juru pancar film di bioskop Ki Chong. Ia dianugerahi julukan tersebut karena setiap ganti rol film, ia memasang slide text ‘HARAP TENANG’ di layar. Atau Mahmuddin pelupa yang punya penyakit lupa yang akut. Atau Tancap bin Seliman yang gila menonton layar tancap.

(Mungkin) begitu pula Mak Cik Maryamah. Saking pintarnya ia memainkan langkah-langkah Karpov dalam catur sehingga sering pula mengajari orang-orang, akhirnya dia digelari Mak Cik Maryamah Karpov. (Mungkin benar, mungkin saja salah… Karena di buku Maryamah Karpov Mozaik 28 yang bercerita tentang kebiasaan orang Melayu yang suka memberi julukan ini, tidak diceritakan asal mula nama Mak Cik Maryamah Karpov).

***

Gadis cantik pemain biola di cover depan buku Maryamah Karpov adalah Nurmi, putri Mak Cik Maryamah Karpov. Ia sedari kecil sudah belajar memainkan biola. Aku pikir, sebenarnya ini bukanlah kehendak ia untuk belajar memainkan biola. Tetapi karena memang tak ada lagi permainan lain yang bisa ia mainkan, saking miskinnya keluarganya. Seperti dijelaskan di atas, ibunya Maryamah pernah ingin menukarkan biolanya itu dengan sekantong beras pada ibu Ikal.

Seiring berjalannya waktu, Nurmi pun tumbuh dewasa. Dalam keempat buku tetralogi Laskar Pelangi (terutama buku Sang Pemimpi dan Maryamah Karpov yang pernah menceritakan Nurmi dan ibunya), tidak pernah diceritakan berapa beda umur Nurmi dengan Ikal. Yang jelas, Nurmi memanggil Ikal dengan sebutan Pak Cik, menandakan ia lebih muda dari Ikal.

Nurmi sering kali memainkan biolanya. Biasanya ia berdiri di pojok pertigaan jalan dekat Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi saban Rabu dan Sabtu sore, saat warung-warung kopi dipenuhi pengunjung.

Ketika Ikal dalam masa-masa pembuatan kapal untuk melakukan ekspedisi pencarian A Ling, Ikal sering kali belajar memainkan biola dengan Nurmi. Setiap sore, setelah siangnya bekerja keras menyelesaikan kapal asteroid, biasanya Ikal duduk di warung kopi untuk menikmati gesekan biola Nurmi. Hingga kemudian, ia pun tertarik untuk ikut mencoba menggesek biola tersebut.

Semuanya berawal dari salah satu sahabat Laskar Pelanginya, Lintang.

“Tahukah kau, Boi? Biola adalah instrumen yang amat susah dimainkan. Pemainnya harus punya feeling yang kuat untuk menemukan nada. Sebab tak ada pedoman posisi nada seperti pada gitar. Tangan kanan menggesek, jemari kiri menekan dawai, itu tak mudah, karena dua macam gerak mekanika yang berbeda. Jarak dawainya pun amat dekat, maka gampang sekali suaranya distorsi. Jangankan menemukan nada yang pas, menggeseknya dengan benar saja memerlukan latihan lama. Orang yang tak berjiwa musik, tak kan dapat memainkan biola.”

“Jika kau ingin belajar main biola dengan memikirkan bagaimana Nurmi bisa membawakan lagu Semalam di Malaysia seindah itu, kau tak kan bisa melakukannya.”

“Barangkali akan lebih mudah jika kita berpikir bahwa biola adalah alat musik akustik yang berbunyi karena getaran. Tangga nadanya merupakan konsekuensi dari panjang-pendek gelombang akibat jemari yang memencet dawai bergerak dalam jarak tertentu ke depan atau belakang stangnya. Dengan melatih terus jemari agar konsisten dengan jarak tertentu itu, begitulah kita akan menemukan nadanya.” (Maryamah Karpov, 284-285)

Begitulah Lintang panjang-lebar menceramahi Ikal saat kebingungan memikirkan cara untuk membuat kapal. Dan semuanya terpecahkan berkat ‘teori analogi biola Lintang’, mungkin seperti itu aku mengistilahkannya.

“Membuat sesuatu yang rumit menjadi begitu sederhana adalah keahlian khusus Lintang yang selalu membuatku iri,” tulis Ikal dalam Mozaik 46 buku Maryamah Karpov (hal. 285)

“Kesulitan akan gampang dipecahkan dengan mengubah cara pandang, Boi,” ujar Lintang lagi.

Kembali ke biola Nurmi. Sejak itu pulalah, sembari mengerjakan kapalnya, Ikal juga belajar main biola dengan Nurmi setiap sore. Hingga kemudian, ia mampu memainkan lagu Rayuan Pulau Kelapa, lagu yang sering disenandungkan oleh A Ling.

“Aku terkenang akan seorang perempuan Tionghoa kecil yang menyanyikan lagu itu untuk menenangkan riak-riak Sungai Linggang di bawah jendela rumahnya. Suara kecilnya yang sumbang, memasuki relung-relung dadaku, mengaramkannya dengan air mata rindu. Tunggulah A Ling, tunggu aku, sebentar lagi perahuku rampung. Aku akan membawamu pulang.” (Maryamah Karpov, 307)

***

Lalu kenapa nama Maryamah Karpov yang menjadi judul buku keempat dari tetralogi Laskar Pelangi? Seistimewa apa hingga namanya yang menjadi judul, mewakili semua isi buku ini? Dan kenapa harus Nurmi yang menjadi cover buku Maryamah Karpov? Kenapa bukan A Ling yang merupakan mimpi Ikal yang diceritakan dalam buku ini?

Jika aku boleh sedikit memberi tanggapan, aku punya jawaban untuk pertanyaan di atas. Ya, sebuah kesimpulan dari perkenalan kita dengan Maryamah Karpov dan Nurmi.

Buku keempat Andrea Hirata ini diberi judul Maryamah Karpov, karena dia ingin menggambarkan bagaimana kebiasaan orang Melayu yang suka memberi julukan kepada orang lain, begitu lekat hidup dalam kebudayaan mereka. Awalnya kita hanya tahu namanya adalah Mak Cik Maryamah di buku Sang Pemimpi. Namun tiba-tiba di buku keempat ini, namanya bertambah menjadi Maryamah Karpov. Itu adalah bentuk implementasi dari kebiasaan buruk orang Melayu, namun sudah membudaya dalam kehidupan mereka.

Namun, aku pikir, ini bukanlah sebuah alasan utama. Bagiku, kemungkinan yang menjadi alasan utama adalah, berhubungan dengan pertanyaan kenapa Nurmi yang menjadi cover di buku ini.

Aku jawab dulu satu per satu, kenapa Nurmi yang menjadi cover. Karena permasalahan utama Ikal dalam ekspedisi mencari A Ling, yaitu membuat kapal, terjawab dengan teori analogi biola Lintang. Lintang memberikan solusi untuk masalah Ikal dalam membuat kapal asteroid dengan menganalogikannya seperti biola yang dimainkan Nurmi di sudut pertigaan jalan dekat Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi, di mana mereka berdiskusi hari itu.


Dengan teori analogi biola Lintang tadi, akhirnya Ikal bisa mengawali mimpi-mimpinya mencari A Ling hingga menjadi nyata. Bahkan pada akhirnya, Ikal pun bisa memainkan biola, walaupun hanya sekedar untuk menyenandungkan lagu Rayuan Pulau kelapan yang sering didendangkan A Ling.

Itulah pentingnya Nurmi sang pemain biola, sehingga dia bisa lolos menjadi bintang cover di buku keempat Andrea Hirata ini. Nurmi dengan biolanya menjadi inspirasi bagi Lintang untuk mengajarkan Ikal, bagaimana dia bisa mengubah cara pandangnya terhadap sesuatu yang begitu ‘wah’, namun sebenarnya hanya pekerjaan mudah.

Lalu apa hubungannya dengan judul Maryamah Karpov? Karena Nurmi adalah anaknya Mak Cik Maryamah, dan lain hal, tak akan mungkin buku ini diberi judul Nurmi yang tak dikenal siapa-siapa, akhirnya diberilah buku ini judul ‘Maryamah Karpov’, dengan menambahkan kata ‘Karpov’ sebagai lambang bahwa orang Melayu punya kebiasaan memberikan julukan pada orang lain.

Ya, ini semua hanyalah opini pribadi semata. Aku berpikir demikian, karena aku membaca dan menikmati Maryamah Karpov. Dan akhirnya, menemukan ‘teori’ ini. Mungkin Anda juga punya teori sendiri. Atau, kita tanya saja langsung pada Andrea Hirata.

Kamar kos sempit menjelang makan siang

Medan, 29 November 2008 : 13.27 WIB

{ Read More }


Tentang Mimpi Ikal dan A Ling

Akhirnya, aku meng-khatam-kan juga Maryamah Karpov. Setelah sekian detik, sekian menit, sekian jam, sekian hari, sekian minggu, dan sebulan lebih satu hari sejak buku pamungkas ini di-launching 28 November lalu. Semuanya berakhir pagi ini, 08.35 WIB, pagi 1 Muharram 1430 H, 29 Desember 2008.


Tapi aku tak ingin semuanya berakhir begitu saja. Aku ingin semuanya masih tertinggal di mataku, seperti tatapan yang tak pernah kupalingkan dari lembaran-lembarannya; di bibirku, seperti senyum ketika melihat A Ngong untuk kelima kalinya kalah taruhan dengan A Tong; juga di hatiku, seperti Ikal yang tak pernah lelah mengejar A Ling yang telah membawa pergi hatinya belasan tahun.

***

Begitu memesonanya Maryamah Karpov hingga aku tak pernah bisa lama-lama beranjak darinya. Mungkin sama halnya yang dirasakan Ikal pada A Ling. “Cinta rupanya dapat menisbat waktu, hingga tak berarti.” Ya, aku sepakat denganmu Ikal.

Masih lekang di otakku, ketika kemarin beberapa bulan yang lalu aku takjub dengan semangat Laskar Pelangi untuk merengkuh pendidikan, aku kagum dengan mimpi-mimpi IKal dan Arai untuk menjelajahi Eropa dan menjamah Afrika, dan aku berucap ‘Subhanallah’ ketika mimpi-mimpi mereka benar-benar dipeluk Tuhan. Ya, aku masih ingat pada mereka dan mimpi-mimpinya.

Dan di Maryamah Karpov, akhirnya Ikal menemukan mimpinya yang selama ini belum ditemukan juga. A Ling. Ya, A Ling yang telah hilang belasan tahun sejak mereka kelas 2 SMP. Dan Ikal menemukan A Ling setelah mempertaruhkan nyawanya dengan lanun Selat Malaka yang terkenal kejam.

***

Bahagia menyelimuti kalbunya sejak dini hari itu. Sejak dini hari ketika dia menemukan kembali kuku-kuku cantik jari-jemari itu. “Yang paling bahagia dari yang terbahagia tentu saja aku.”

Namun sungguh tak dinyana, semua berakhir begitu saja. “Di tengah hamparan ilalang, A Ling berdiri sendirian menungguku. Kami hanya diam, tapi A Ling tahu apa yang telah terjadi. Ia terpaku lalu luruh. Ia bersimpuh dan memeluk lututnya, Matanya semerah saga. Ia sesenggukan sambil meremas ilalang tajam. Seakan tak ia rasakan darah mengucur di telapaknya. Ia menarik putus kalungnya, menggulung lengan bajunya, dan memperlihatkan rajah kupu-kupu hitam di bawah sinar bulan.” Semua asa yang telah hadir sejak A Ling berkata pada Ikal, “Curi aku dari pamanku” minggu siang itu, hancur begitu saja.

Aku telah katakan tadi, aku tak ingin semuanya berakhir begitu saja. Dan Ikal tak menepati janji. Dia biarkan perlahan awan kelabu di langit turun menjadi titik gerimis.
Aku tak tahu, padang sabana di belahan dunia yang mana lagi yang akan ditempuhnya, atau lanun di samudera yang mana lagi yang akan ditaklukkannya untuk merengkuh A Ling. Agar dapat memakai kata Hirata di belakang namanya, ya A Ling Hirata. Atau agar ia dapat melihat A Ling untuk kali terakhir sebelum tidur dan kali pertama ketika bangun.

***

Ikal tak pernah memberi jawaban, sejak ia mendapati wajah ayahnya ketika menyampaikan maksudnya untuk meminang A Ling di malam itu. ” Matanya kosong, wajahnya pias.” Ikal tahu makna wajah ayahnya yang mengatakan tidak, tidak dari ayahnya untuk pertama kali bagi Ikal dalam hidupnya.

Aku masih berharap semuanya tak berakhir begitu saja. Aku masih berdoa ini tak hanya tetralogi. Aku ingin suatu hari nanti, aku membaca sebuah kalimat pendek di bagian bawah cover depan buku Andrea Hirata, “Buku kelima dari pentalogi Laskar Pelangi.” Karena aku juga tak ingin A Ling menangis, sama seperti Ikal.

Kamar kos sempit di pagi yang mendung itu

Medan, 29 Desember 2008 : 09.20 WIB

{ Read More }


IconIconIconFollow Me on Pinterest

Label

artikel (5) puisi (5) Tetralogi Laskar Pelangi (2) prosa (2) Unik (1) about me (1) kuliner (1) my days (1)

Blogger news

Blogroll

What's Hot