Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Kamis, September 10, 2009

Pema: Untuk Apa dan Untuk Siapa?

* Sebuah catatan menjelang Pemilu USU 2009


Sebuah kemerdekaan dalam berdemokrasi, akhirnya lahir ketika rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998. Gerakan reformasi yang membawa panji-panji demokrasi berkibar di seluruh penjuru negeri ini, membawa ruh kebebasan bagi setiap pergerakan rakyat. Tentunya juga bagi mahasiswa yang menjadi ujung tombak perubahan besar menuju reformasi ini, sebagai insan-insan yang secara kapasitas intelektual lebih maju selangkah dibanding dengan masyarakat awam.


Betapa tidak, selama puluhan tahun pergerakan mahasiswa dikekang oleh pemerintah dengan pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Namun, sejak keluarnya SK Mendikbud No 155/u/1998 tanggal 30 Juni 1998 tentang Pemerintahan Mahasiswa (Pema), menjadi jaminan hukum bagi mahasiswa untuk berserikat dan berorganisasi secara bebas dengan Pema sebagai wadahnya. Inilah angin segar bagai kehidupan kampus yang lebih demokratis.


Sebagai langkah awal pergerakan mahasiswa yang lebih terstruktur, Pema menjadi wadah utama untuk menempah mental-mental calon pemimpin bangsa ke depannya. Mahasiswa-mahasiswa yang independen, demokratis dan berpihak kepada kebenaran, menjadi tujuan akhir dari semua ini demi perubahan bangsa dan negara menuju ke arah positif.


Wadah Aspirasi Mahasiswa

Mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang dinamis dan progresif mempunyai peran utama sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) dan agen kontrol sosial (agent of social control) di tengah-tengah masyarakat. Dengan peranannya itu, diharapkan mahasiswa bisa melakukan perubahan-perubahan di lingkungan kampus dan masyarakat, menuju ke arah yang lebih positif untuk membangun bangsa dan negara.


Semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian, juga menjadi roh dalam pergerakan mahasiswa sebagai tonggak awal perubahan. Roh inilah yang kemudian menghidupkan jiwa-jiwa mahasiswa untuk membawa bangsa dan negara menuju kemerdekaan yang hakiki, yaitu kemerdekaan dari kebodohan dan ketidakadilan.


Pada dasarnya, kekuatan ini jugalah yang menjadi batas-batas gerak dalam pelaksanaan roda-roda Pema. Pema harus mampu menjalankan peranan tersebut sesuai dengan tugas yang menjadi roh utama dalam peregerakan mahasiswa. Pema-lah yang menjadi wadah untuk menampung semua gerakan-gerakan mahasiswa demi terwujudnya cita-cita menuju ke arah perubahan tersebut.


Pema harus mampu menjadi wadah untuk menampung dan mempersatukan segala aspirasi dan kepentingan semua elemen mahasiswa. Pada akhirnya Pema-lah yang menjadi pemegang komando tertinggi untuk mengarahkan pergerakan mahasiswa menuju perubahan yang dicita-citakan. Bukan untuk mewujudkan kepentingan sekelompok pihak yang berkuasa saja.


Selain itu, Pema juga harus bisa menjadi penghubung antara mahasiswa dengan pihak birokrat kampus. Dalam hal ini, Pema harus mengabil peranan sebagai pihak yang harus memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Tapi bukan berarti juga Pema akan menjadi “benalu” bagi pihak kampus sendiri. Sebagai kelompok intelektual yang diberi amanah untuk mengemban kepercayaan seluruh mahasiswa, Pema tentu bisa menjadi negosiator dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan mahasiswa.


Kepentingan Segelintir Orang

Namun, mewujudkan peranan tersebut memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi jika perjuangan yang pada dasarnya ditopang roh demokrasi tersebut telah disusupi virus-virus kepentingan masing-masing kelompok. Sehingga yang berkuasa hanya memanfaatkan masa-masa jabatannya untuk menikmati kursi empuk kekuasaan. Tujuan awal perjuangan pun sudah terpinggirkan jauh, bahkan mungkin telah terlupakan.


Kepentingan kelompok selalu menjadi persoalan utama dalam perjalanan politik di muka bumi ini. Selalu ada persaingan yang dikendarai oleh kepentingan masing-masing kelompok, demi memperebutkan kursi kekuasaan, termasuk dalam dunia politik Pema sendiri. Kepentingan yang akhirnya memaksa setiap pihak yang bersaing harus saling menjatuhkan, demi merengkuh kekuasaan dan kenikmatan berkuasa tersebut.


Makanya tak heran jika seringkali terjadi pergesekan di tengah-tengah mahasiswa, karena masing-masing membawa kepentingan kelompoknya sendiri. Ujung-ujungnya, perpecahan di tengah-tengah mahasiswa pun tidak terelakkan lagi. Primordialisme kelompok menjadi ego utama, yang akhirnya meminggirkan semangat perjuangan mahasiswa menuju perubahan positif tadi.


Berlajar berorganisasi dan berpolitik kampus selalu menjadi dalih sebagai pelapis tujuan tersembunyinya untuk memperebutkan kekuasaan di tengah-tengah mahasiswa. Padahal, esensi dari belajar berorganisasi dan berpolitik kampus itu sebenarnya sudah tak lagi menjadi pembelajaran. Yang ada malah belajar bermain politik kotor, saling menjatuhkan lawan dan kemudian menikmati kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya.



Penting Atau Tidak Penting?

Ketika tujuan awal dari berorganisasi dan berpolitik dalam Pema sudah tidak menjadi azas utama lagi dalam menjalankan politik Pema tersebut, tujuan akhirnya pun juga sudah berubah haluan. Pada awalnya untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi mahasiswa, beralih kepada kepentingan kelompoknya sendiri. Perjuangan sudah bergeser dari tujuan awal yang dicita-citakan.


Lihat saja ulah Presiden Mahasiswa (Presma) USU yang “memakan” masa dua tahun dalam jabatannya, padahal konstitusi mengatur hanya untuk satu tahun. Apakah yang didapatkannya selama menjadi Presma sehingga membuatnya tak mau melepaskan jabatan itu? Kita tidak tahu sama sekali apa itu. Pastinya ada sesuatu hal yang membuatnya begitu ingin menikmati kekuasaan itu lebih lama.


Atau cerita dua calon Presma USU yang berebut kursi kekuasaan, dengan melakukannya apa saja demi mempertahankan kekuasaan yang katanya menjadi “hak”-nya itu. Bahkan sempat terjadi bentrok antar mahasiswa hanya gara-gara kedua pihak berebut untuk menduduki kantor Pema USU. Kasus ini juga yang kemudian membawa Pema USU menuju kebobrokan terparah dalam dunia politik; dualisme kepemimpinan.


Jika sudah demikian, siapa lagi yang akan percaya kepada Pema. Tak aneh jika melihat jumlah pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) USU tahun 2008 lalu, hanya diikuti segelintir dari puluhan ribu mahasiswa USU. Lalu yang lain kemana? Bisa jadi mereka sudah apatis dengan kehadiran Pema di tengah-tengah mahasiswa. Karena memang tidak ada dampak sama sekali terhadap kehidupan mereka di kampus.


Para mahasiswa ini juga tidak bisa disalahkan. Karena mereka memang mereka tidak punya kepentingan dengan apa dan siapa yang akan duduk di kursi Presma. Makanya jangan selalu berkoar-koar tentang mahasiswa apatis, seolah-olah menunjukkan pada semua orang bahwa Anda adalah benar-benar aktivis. Sudah benarkah yang Anda lakukan? Jika belum, lebih baik diam. Karena semua mahasiswa tahu seperti apa Pema itu.


Pertanyaan terakhir yang muncul, bagaimana kalau seandainya Pema tidak usah ada di kampus ini? Jika melihat realitas Pema USU saat ini, penulis yakin hampir sebagian mahasiswa USU akan menjawab sama, tidak ada masalah. Toh, sejauh ini memang tidak ada dampak positif langsung yang bisa dirasakan oleh mahasiswa dengan kehadiran Pema.


Lalu, apakah kita akan berhenti di titik ini? Silahkan cari jawabannya sendiri. Ini bukan soal kekuasaan semata, tapi bicara tentang makna perjuangan mahasiswa. Anda sendiri mungkin mengerti, jika masih menyandang gelar “mahasiswa.”

{ Read More }


Senin, Maret 23, 2009

KATARSIS

Sebenarnya, tak ada yang istimewa dari seonggok kata ini, ‘KATARSIS.’ Awalnya, aku mengenalnya di buku Sang Pemimpi-nya Andrea Hirata. Tapi aku lupa, dia menggunakan kata ini dalam kalimat apa.

Perkenalan ini berlanjut ketika aku butuh sebuah nama untuk ikatan alumni 2005 dari SMA-ku. Kebetulan aku adalah salah satu almuni 2005, dan kami baru saja membentuk sebuah wadah organisasi untuk kami-kami yang angkatan 2005. Lama berpikir dan mengaduk-aduk huruf dan kata, salah satunya muncul KATARSIS.

Namun, yang jadi masalah, aku tidak tahu apa makna dari kata ini, walaupun kepanjangannya sudah berhasil kupaksakan sesuai dengan nama ikatan alumni kami. Yah, aku bingung, tak mengerti makna KATARSIS jika nanti teman-teman bertanya.

Aku coba cari tahu. Bertanya pada seorang teman, yang aku pikir cukup punya banyak perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Namun aku tidak puas dengan apa yang dia sampaikan. Yah, ujung-ujungnya aku tak jadi mengusulkan KATARSIS sebagai nama ikatan alumni kami.

Hingga kemudian, aku tetap penasaran dengan KATARSIS. Aku sudah coba mencari tahu di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

ka.tar.sis n 1 Kris penyucian diri yg membawa pembaruan rohani dan pelepasan dr ketegangan; 2 Psi cara pengobatan orang yg berpenyakit saraf dng membiarkannya menuangkan segala isi hatinya dng bebas; 3 Sas kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.)

Namun hasilnya tetap tak kumengerti. Yah, kali ini bukan tak memuaskan, tapi aku sendiri yang tak mengerti.

Hingga suatu kali, aku menemukan kembali kata ini. Aku menemukannya sebagai nama sebuah kelompok teater mahasiswa Universitas Negeri Padang cabang Bukittinggi. Teman friendster-ku, Syaira salah satu anggotanya.

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku bertanya padanya. Dan kebetulan sekali, dia sebagai mahasiswi Psikologi bisa menjelaskan makna KATARSIS dalam sudut pandang Psikologi.

“mslny bg mrh ma tmn bg.., bg pgn bgt nonjok dy! tp dsaat t bg tw tuh akn mmprpnjng mslh.., truss persaan agresi td t bg alihn k bnda lain, mslny nendang krsi atw bg teriak2 dpntai, ngmong2 dpn kc, dll!”

“nah., ngrs prnhkan?? krn tnp disadaripun mnsia tu srng berkartarsis bwt meredakan emosiny..!”

Dia menjelaskannya padaku via comment di-friendster. Yah, selanjutnya silahkan Anda pahami sendiri. Karena aku telah mengerti, siapa sebenarnya KATARSIS.

{ Read More }


Komunikasi dengan Senyum

Oleh: Adela Eka Putra Marza*

Saya bahkan tak kenal sama sekali dengan bapak tua itu, ketika dia mengajak saya bicara. Tentang suatu hal, yang mungkin selama ini dianggap sepele. Saya baru menyadarinya malam itu. Hanya dari pertemuan yang tak sampai lima menit, saya bisa tersenyum ketika meninggalkannya.

Bapak tua itu menahan langkah saya ketika akan beranjak meninggalkan sebuah warung kecil. "Kita ngobrol dulu sebentarlah." Saya menangkap sebentuk lukisan cahaya di wajahnya, rasa inginnya untuk menceritakan sebuah pengalaman. Dan sepertinya dia begitu antusias ingin membaginya pada saya.

Dari awal saya memang sudah menangkap kelenturan hatinya. Dia berusaha beradaptasi secepat mungkin dengan saya melalui sebuah lelucon – yang sebenarnya tak ada yang istimewanya.

Ucapan kekagumannya dengan jurusan saya di perkuliahan, jurusan Ilmu Komunikasi, memulai dialog yang berujung dengan sebuah senyum itu. Dan dia pun mengajukan sebuah pertanyaan. "Kamu tahu alat komunikasi apa yang paling canggih di dunia?" tanyanya pada saya. "Handphone," jawab saya. "Bukan." "Televisi." "Juga bukan." "Mulut," saya kehilangan jawaban. "Sedikit lagi.” Saya mulai mati kutu.

"Bahasa," saya memberikan jawaban lagi. "Bahasa belum tentu dimengerti semua orang," dia memancing saya lagi. "Kalau kamu bicara pakai bahasa Inggris, saya belum tentu mengerti kan?" Benar juga, saya pikir dalam hati. Jadi, apa alat komunikasi yang tercanggih di dunia itu?

"Senyum. Itulah alat komunikasi yang paling canggih di dunia," ujarnya kemudian menjawab sekian tanda tanya besar di benak saya. Senyum? Dan saya pun tertawa dengan jawaban singkatnya itu. Ya, saya tertawa dengan jawabannya. Karena saya pun sempat tersenyum ketika mendapati bapak tua itu di sana.

Sebegitu jauh saya membayangkan sebuah perangkat komunikasi paling canggih di jagad raya ini, hingga saya melupakan makna sebuah senyum yang bapak itu berikan kepada saya, dari awal bicara tadi. Akibat terlalu banyak dicecoki dengan kecanggihan PDA, 3G, komputer, internet, dan teknologi komunikasi lainnya, saya sampai lupa bahwa senyum adalah alat komunikasi tercanggih di dunia.

Senyum adalah alat komunikasi yang semua orang bisa menggunakannya dan semua orang bisa mengerti. Dengan senyum, semua orang bisa merasakan kebahagiaan yang kita rasakan. Dengan senyum, semua orang bisa mengerti bahwa dia setuju dengan keputusan kita. Dengan senyum, mungkin Anda akan bisa melupakan masalah Anda dengan orang yang Anda cintai. Yah, dengan senyum, semua hal bisa disampaikan dan dimengerti.

Dan saya pun tersenyum, telah dikelabui oleh kata "canggih". Saya berpikir terlalu jauh untuk hanya mencari gambaran alat komunikasi tercanggih di dunia. Sedangkan, setiap hari entah berapa kali saya mengumbar dan menatap sebuah senyum. Dan saya dibutakan oleh kata "canggih" itu, sehingga terlupakan akan senyum yang bahkan bisa menyampaikan isi hati seseorang walaupun tak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. "Berbahagialah kamu, maka orang lain juga akan berbahagia. Namun jika kamu bersedih, maka hanya kamu sendirilah yang akan bersedih," dia kembali bergumam, menutup kuliahnya tentang alat komunikasi tercanggih di dunia malam itu. Dan senyum itu pula yang kemudian saya berikan kepadanya, setelah pertemuan yang tak menghabiskan waktu lima menit itu.

Medan, 7 Januari 2008 (22.23 WIB)

* Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU 2005. Bergiat di Pers Mahasiswa SUARA USU, sebagai Staf Litbang Bagian Pengembangan SDM.

(Dimuat di Harian Medan Bisnis, Minggu/15 Maret 2009)
{ Read More }


Sabtu, Desember 01, 2007

DORAEMON - The End

Ada gosip baru ni...!!! (he3x... dasar tukang gosip...!!!)
aQ baru aja terima email dari sebuah milis. Isinya tentang ending dari cerita serial kartun Doraemon. (salah satu cerita & tokoh kartun yang aQ idolain; dari kecil sampe sekarang, walaupun udah gede & berstatus mahasiswa...)
Begini ceritanya...

Pada suatu hari sepulang sekolah, Nobita bergegas menuju kamarnya dan hendak mengajak Doraemon bermain. Ternyata Doraemon sedang tidur di kamar.
"Doraemon... Main yyuuukkkk...!!!", ajak Nobita.
Tapi Doraemon tidak bereaksi. Nobita berpikir, mungkin Doraemon beristirahat karena kelelahan. Akhirnya, dia pun pergi bermain sendiri ke rumah Shizuka.
Beberapa jam kemudian, Nobita pulang. Dan ternyata Doraemon masih tidur. Nobita mulai merasa curiga. Dia mencoba membangunkan Doraemon. Namun tetap tak ada reaksi. Nobita mulai khawatir dengan keadaan Doraemon tersebut.
Dia berusaha dengan berbagai cara untuk membangunkan Doraemon. Namun tetap sia sia saja. Bahkan dia sudah menangis, merengek, dan berteriak, seperti yang biasa diia lakukan jika mempunyai masalah. Namun Doraemon tetap diam.
Nobita kemudian punya ide untuk pergi ke masa depan dan menemui Dorami, adik Doraemon. Dia mengajak Dorami untuk datang ke tahun 1998, waktu saat itu dan melihat kondisi Doraemon.
Setelah memeriksa Doraemon beberapa lama, akhirnya Dorami pun menjelaskan apa yang terjadi dengan Doraemon.
"Baterainya habis", jelas Dorami.
Awalnya, Nobita merasa lega. "Jadi cuma habis baterai ya? Gak rusak kan?", tanya Nobita. "Kalau begitu, Dorami tolong ganti aja baterainya agar Doraemon bisa bangun lagi".
Namun Dorami menggelengkan kepala. "Tapi... Aku tidak bisa melakukannya Nobita", ujar Dorami.
"Kenapa?"
"Baterai utama Doraemon ada di sini, di dekat kantongnya dan sekarang telah habis. Sebenarnya, dia punya baterai cadangan di telinganya. Tapi kamu pasti tau, kalau telinga Doraemon rusak digigit tikus beberapa tahun lalu. Jadi sekarang Doraemon gak punya baterai cadangan", jawab dorami.
"Jadi...?"
"Jadi kalau aku mengganti baterainya, maka semua memori tentang kamu akan terhapus. Doraemon gak akan mengenalmu lagi, Nobita"
Mendengar hal itu, Nobita menutup matanya dan mulai menangis.
Akhirnya, dia pun berkata pada dorami. "Terima kasih, Dorami! Biar aku yang mengurus Doraemon sekarang. Kamu bisa kembali ke masa depan".
Dorami sesaat tertegun. Tidak tahu harus berbuat apa. Lalu dia memeluk lembut nobita, sebelum akhirnya kembali ke masa depan.
Kemudian, Nobita dengan hati-hati menyimpan jasad Doraemon di dalam lemari.
Tahun 2010
Nobita sudah beranjak dewasa. Sejak kematian Doraemon, Nobita berubah drastis. Dia sadar selama ini selalu bergantung pada Doraemon. Maka sejak saat itu Nobita yang biasanya pemalas, berubah menjadi rajin belajar serta tidak cengeng dan gampang mengeluh lagi.
Kematian Doraemon sendiri, dirahasiakan Nobita dari teman-temannya. Dia hanya mengatakan, bahwa Doraemon telah kembali ke masa depan.
Ternyata perubahan drastis Nobita membuat Shizuka menjadi jatuh cinta padanya. Dan akhirnya mereka menikah.
Berkat kerja kerasnya, Nobita menjadi seorang ilmuwan. Dia mempunyai laboratorium pribadi di kamarnya. Dan dia tidak mengizinkan siapapun masuk ke sana, bahkan Shizuka sekalipun, dengan alasan berbahaya.
Hingga suatu hari, Nobita memanggil Shizuka ke laboratoriumnya. Shizuka sangat terkejut, melihat apa yang sebenarnya dirahasiakan oleh Nobita selama ini di dalam laboratoriumnya. Di sana Shizuka melihat sesosok robot yang sangat dikenalnya saat masih kecil. Dia melihat Doraemon terbaring tidak bergerak.
"Sebentar Shizuka!Aku akan menghidupkannya". Nobita menekan sebuah tombol yang berada di dekat Doraemon. Dengan perlahan robot itu pun membuka matanya.
Dan jelaslah saat itu, bahwa sebenarnya Doraemon diciptakan oleh Nobita sendiri. Dia menjadi rajin dan tekun belajar, karena ingin menghidupkan kembali sahabat terbaiknya itu. Lalu kemudian, Nobita dewasa mengirim Doraemon ke masa lalu untuk menolong Nobita SD dan untuk mendidiknya agar menjadi Nobita yang sekarang.

Demikianlah sebagain kecil dari ending cerita Doraemon. Sedikit mengharukan (hiks... hiks...) Percaya gak percaya, terserah kawan2. Yang jelas, menurut email yang aQ terima, ending cerita Doraemon versi ini telah beredar di internet.
{ Read More }


Saat Tulisan yang Sama Dimuat di Media Cetak

Beberapa waktu yang lalu, penulis membaca sebuah opini di sebuah harian Kota Medan. Dalam penilaian penulis, opininya cukup bagus. Karena memang topik yang diangkat adalah topik yang memang sedang hangat dibicarakan. Namun, bukan masalah topiknya itu yang ingin penulis bahas di sini. Tetapi tentang fakta bahwa ternyata opini yang sama juga dimuat oleh sebuah harian Kota Medan lainnya, pada waktu yang bisa dikatakan hampir bersamaan, sehari setelah tulisan tersebut pertama kali dimuat.

Tentu muncul sebuah pertanyaan, terutama di benak penulis sebagai seorang penulis pemula yang belum terlalu mengetahui seluk beluk aturan dalam dunia kepenulisan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal tulisan tersebut sama, dan penulisnya juga sama. Kok bisa dimuat di dua media cetak yang berbeda, bahkan dengan waktu hampir bersamaan? Mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itu juga sempat hadir di benak kawan-kawan penulis pemula lainnya.

Secara pribadi mungkin kita menganggap bahwa itu adalah sebuah rejeki nomplok. Karena hanya dengan menulis dan mengirimkan satu tulisan saja ke beberapa media cetak, kita mendapat honor yang berkali lipat. Atau mungkin, kita juga sempat berpikir bahwa tulisan kita sangat diminati oleh redaksinya. Mungkin karena topik yang diangkat memang sedang hangat dibicarakan, atau bisa juga karena opini tersebut memang bagus.

Namun ternyata, pemikiran tersebut salah. Dalam e-mail Erwin Arianto, SE. [erwinarianto@gmail.com], salah seorang penulis lepas, berjudul ”Menulis di Media Cetak” dipaparkan bahwa:
”Jangan pernah mengirim satu tulisan pada dua koran nasional atau dua koran yang satu daerah dalam waktu bersamaan. Karena kalau sama-sama dimuat di kedua koran tersebut, kita akan mendapat sanksi berupa tulisan kita tidak akan dimuat di keduanya (kedua media cetak tersebut –pen)”.

Tidak jauh berbeda dengan tanggapan Hasan Al Banna, seorang penulis dan staf Balai Bahasa Medan yang tulisannya sering dimuat di beberapa harian lokal dan harian nasional. Beliau mengatakan, para penulis harus menghindari pengiriman tulisan yang sama kepada dua media cetak yang berbeda pada waktu bersamaan. Jika hal seperti ini ketahuan oleh redaksi media cetak yang bersangkutan, nama penulis tersebut bisa di-blacklist. Bahkan beliau mengistilahkan hal seperti ini dengan ”menipu secara intelektual”.

Setiap Tulisan yang Masuk Adalah Hak Redaksi
Kenapa tidak boleh? Mungkin pertanyaan ini yang kemudian akan muncul di benak kita para penulis pemula. Kalau memang tulisannya bermutu dan opininya bernas, kenapa tidak untuk dimuat di beberapa media cetak yang berbeda dalam waktu bersamaan? Apalagi jika tulisannya itu up to date.

Seperti yang kita ketahui bersama, setiap tulisan yang masuk ke sebuah media cetak menjadi hak redaksi tersebut dalam penerbitannya. Apakah tulisan tersebut nanti akan diterbitkan (naik cetak), atau masuk tong sampah alias ditolak, itu sepenuhnya hak redaksinya. Jadi kita tidak berhak untuk mengirimkannya juga ke media cetak yang lain. Apalagi dalam waktu bersamaan.

Oleh karena itu, pada beberapa media cetak juga diatur bahwa tulisan yang juga belum diterbitkan hingga jangka waktu tertentu, maka tulisan tersebut dianggap ditolak. Jika memang telah melewati batas waktu tersebut, barulah kita mempunyai hak lagi untuk mengirimkan tulisan yang sama ke media cetak yang lain.

Namun terkadang, juga banyak media cetak yang tidak menjelaskan tentang aturan yang memang tidak baku ini. Jika suatu ketika kita berhadapan dengan keadaan seperti ini, maka kita bisa mencari solusinya dengan meminta keterangan langsung dari redaksi media cetak tersebut. Atau mungkin seperti saran Bang Hasan, kita bisa langsung meminta izin (permisi) kepada redaksi media cetak tersebut untuk mengirim tulisan yang sama ke media cetak yang lain.

Belum Ada Aturan Hukum
Masih menurut Bang Hasan, secara hukum hal seperti ini memang belum diatur. Karena memang belum ada undang-undang yang mengaturnya. Oleh sebab itu juga, tidak ada sanksi yang jelas dan pasti untuk kejadian pemuatan tulisan yang sama di dua media cetak yang berbeda pada waktu bersamaan, seperti dijelaskan di awal.

Namun secara etika dan moral, kita tetap harus mematuhi aturan tidak baku tersebut. Peraturan ini memang diatur sendiri oleh redaksi media cetak yang bersangkutan. Sehingga pada beberapa media cetak, ada peraturan yang berbeda tentang hal ini.

Sedangkan untuk sanksinya juga merupakan inisiatif dari redaksi, tidak diatur secara hukum dan tertulis. Seperti contoh, ada media cetak yang mem-blacklist penulis yang ketahuan mengirimkan tulisan yang sama pada dua media cetak berbeda dan dimuat dalam waktu bersamaan. Walaupun memang terkadang sanksi tersebut hanya berlaku untuk sementara waktu.

Aturan yang dijelaskan di atas memang masih sebuah aturan tidak baku dan tidak ada landasan secara hukum. Namun semua penulis pasti mengetahui tentang aturan tersebut, dan pasti sepakat dengan hal itu.

Medan, 08 September 2007

*Dimuat di Harian Medan Bisnis Minggu tanggal 18 November 2007
{ Read More }


IconIconIconFollow Me on Pinterest

Label

artikel (5) puisi (5) Tetralogi Laskar Pelangi (2) prosa (2) Unik (1) about me (1) kuliner (1) my days (1)

Blogger news

Blogroll

What's Hot