Kamis, September 10, 2009

Pema: Untuk Apa dan Untuk Siapa?

* Sebuah catatan menjelang Pemilu USU 2009


Sebuah kemerdekaan dalam berdemokrasi, akhirnya lahir ketika rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998. Gerakan reformasi yang membawa panji-panji demokrasi berkibar di seluruh penjuru negeri ini, membawa ruh kebebasan bagi setiap pergerakan rakyat. Tentunya juga bagi mahasiswa yang menjadi ujung tombak perubahan besar menuju reformasi ini, sebagai insan-insan yang secara kapasitas intelektual lebih maju selangkah dibanding dengan masyarakat awam.


Betapa tidak, selama puluhan tahun pergerakan mahasiswa dikekang oleh pemerintah dengan pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Namun, sejak keluarnya SK Mendikbud No 155/u/1998 tanggal 30 Juni 1998 tentang Pemerintahan Mahasiswa (Pema), menjadi jaminan hukum bagi mahasiswa untuk berserikat dan berorganisasi secara bebas dengan Pema sebagai wadahnya. Inilah angin segar bagai kehidupan kampus yang lebih demokratis.


Sebagai langkah awal pergerakan mahasiswa yang lebih terstruktur, Pema menjadi wadah utama untuk menempah mental-mental calon pemimpin bangsa ke depannya. Mahasiswa-mahasiswa yang independen, demokratis dan berpihak kepada kebenaran, menjadi tujuan akhir dari semua ini demi perubahan bangsa dan negara menuju ke arah positif.


Wadah Aspirasi Mahasiswa

Mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang dinamis dan progresif mempunyai peran utama sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) dan agen kontrol sosial (agent of social control) di tengah-tengah masyarakat. Dengan peranannya itu, diharapkan mahasiswa bisa melakukan perubahan-perubahan di lingkungan kampus dan masyarakat, menuju ke arah yang lebih positif untuk membangun bangsa dan negara.


Semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian, juga menjadi roh dalam pergerakan mahasiswa sebagai tonggak awal perubahan. Roh inilah yang kemudian menghidupkan jiwa-jiwa mahasiswa untuk membawa bangsa dan negara menuju kemerdekaan yang hakiki, yaitu kemerdekaan dari kebodohan dan ketidakadilan.


Pada dasarnya, kekuatan ini jugalah yang menjadi batas-batas gerak dalam pelaksanaan roda-roda Pema. Pema harus mampu menjalankan peranan tersebut sesuai dengan tugas yang menjadi roh utama dalam peregerakan mahasiswa. Pema-lah yang menjadi wadah untuk menampung semua gerakan-gerakan mahasiswa demi terwujudnya cita-cita menuju ke arah perubahan tersebut.


Pema harus mampu menjadi wadah untuk menampung dan mempersatukan segala aspirasi dan kepentingan semua elemen mahasiswa. Pada akhirnya Pema-lah yang menjadi pemegang komando tertinggi untuk mengarahkan pergerakan mahasiswa menuju perubahan yang dicita-citakan. Bukan untuk mewujudkan kepentingan sekelompok pihak yang berkuasa saja.


Selain itu, Pema juga harus bisa menjadi penghubung antara mahasiswa dengan pihak birokrat kampus. Dalam hal ini, Pema harus mengabil peranan sebagai pihak yang harus memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Tapi bukan berarti juga Pema akan menjadi “benalu” bagi pihak kampus sendiri. Sebagai kelompok intelektual yang diberi amanah untuk mengemban kepercayaan seluruh mahasiswa, Pema tentu bisa menjadi negosiator dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan mahasiswa.


Kepentingan Segelintir Orang

Namun, mewujudkan peranan tersebut memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi jika perjuangan yang pada dasarnya ditopang roh demokrasi tersebut telah disusupi virus-virus kepentingan masing-masing kelompok. Sehingga yang berkuasa hanya memanfaatkan masa-masa jabatannya untuk menikmati kursi empuk kekuasaan. Tujuan awal perjuangan pun sudah terpinggirkan jauh, bahkan mungkin telah terlupakan.


Kepentingan kelompok selalu menjadi persoalan utama dalam perjalanan politik di muka bumi ini. Selalu ada persaingan yang dikendarai oleh kepentingan masing-masing kelompok, demi memperebutkan kursi kekuasaan, termasuk dalam dunia politik Pema sendiri. Kepentingan yang akhirnya memaksa setiap pihak yang bersaing harus saling menjatuhkan, demi merengkuh kekuasaan dan kenikmatan berkuasa tersebut.


Makanya tak heran jika seringkali terjadi pergesekan di tengah-tengah mahasiswa, karena masing-masing membawa kepentingan kelompoknya sendiri. Ujung-ujungnya, perpecahan di tengah-tengah mahasiswa pun tidak terelakkan lagi. Primordialisme kelompok menjadi ego utama, yang akhirnya meminggirkan semangat perjuangan mahasiswa menuju perubahan positif tadi.


Berlajar berorganisasi dan berpolitik kampus selalu menjadi dalih sebagai pelapis tujuan tersembunyinya untuk memperebutkan kekuasaan di tengah-tengah mahasiswa. Padahal, esensi dari belajar berorganisasi dan berpolitik kampus itu sebenarnya sudah tak lagi menjadi pembelajaran. Yang ada malah belajar bermain politik kotor, saling menjatuhkan lawan dan kemudian menikmati kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya.



Penting Atau Tidak Penting?

Ketika tujuan awal dari berorganisasi dan berpolitik dalam Pema sudah tidak menjadi azas utama lagi dalam menjalankan politik Pema tersebut, tujuan akhirnya pun juga sudah berubah haluan. Pada awalnya untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi mahasiswa, beralih kepada kepentingan kelompoknya sendiri. Perjuangan sudah bergeser dari tujuan awal yang dicita-citakan.


Lihat saja ulah Presiden Mahasiswa (Presma) USU yang “memakan” masa dua tahun dalam jabatannya, padahal konstitusi mengatur hanya untuk satu tahun. Apakah yang didapatkannya selama menjadi Presma sehingga membuatnya tak mau melepaskan jabatan itu? Kita tidak tahu sama sekali apa itu. Pastinya ada sesuatu hal yang membuatnya begitu ingin menikmati kekuasaan itu lebih lama.


Atau cerita dua calon Presma USU yang berebut kursi kekuasaan, dengan melakukannya apa saja demi mempertahankan kekuasaan yang katanya menjadi “hak”-nya itu. Bahkan sempat terjadi bentrok antar mahasiswa hanya gara-gara kedua pihak berebut untuk menduduki kantor Pema USU. Kasus ini juga yang kemudian membawa Pema USU menuju kebobrokan terparah dalam dunia politik; dualisme kepemimpinan.


Jika sudah demikian, siapa lagi yang akan percaya kepada Pema. Tak aneh jika melihat jumlah pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) USU tahun 2008 lalu, hanya diikuti segelintir dari puluhan ribu mahasiswa USU. Lalu yang lain kemana? Bisa jadi mereka sudah apatis dengan kehadiran Pema di tengah-tengah mahasiswa. Karena memang tidak ada dampak sama sekali terhadap kehidupan mereka di kampus.


Para mahasiswa ini juga tidak bisa disalahkan. Karena mereka memang mereka tidak punya kepentingan dengan apa dan siapa yang akan duduk di kursi Presma. Makanya jangan selalu berkoar-koar tentang mahasiswa apatis, seolah-olah menunjukkan pada semua orang bahwa Anda adalah benar-benar aktivis. Sudah benarkah yang Anda lakukan? Jika belum, lebih baik diam. Karena semua mahasiswa tahu seperti apa Pema itu.


Pertanyaan terakhir yang muncul, bagaimana kalau seandainya Pema tidak usah ada di kampus ini? Jika melihat realitas Pema USU saat ini, penulis yakin hampir sebagian mahasiswa USU akan menjawab sama, tidak ada masalah. Toh, sejauh ini memang tidak ada dampak positif langsung yang bisa dirasakan oleh mahasiswa dengan kehadiran Pema.


Lalu, apakah kita akan berhenti di titik ini? Silahkan cari jawabannya sendiri. Ini bukan soal kekuasaan semata, tapi bicara tentang makna perjuangan mahasiswa. Anda sendiri mungkin mengerti, jika masih menyandang gelar “mahasiswa.”


Like the Post? Do share with your Friends.

2 komentar:

  1. udah gag jelas fungsi pema sekarang ...
    gag menyuarakan aspirasi mahasiswa lagi ...

    BalasHapus
  2. Kalau tak salah, gagasan di balik pemakaian istilah pemerintahan mahasiswa (pema) menunjukkan upaya pemberian contoh miniatur pemerintahan Indonesia dengan sebaik-baiknya. Sebagai suatu proses memang sedikit ada hasil, meski tak sebanyak yang diharapkan. Hal yang paling aneh di beberapa perguruan tinggi gagasan itu semakin hilang makna misalnya dengan masuknya istilah (jabatan) Menteri Luar Negeri (negeri mana yang dianggap luar jika urusannya hanya intern dan antar kampus). Juga ada istilah Pemilu Raya (separo Malaysia). Di Malaysia Pemilu itu Pilihan Raya. Mhs Indonesia malah menambah Raya di belakang Pemilu yang sudah bermakna Raya itu.
    Banyak yang perlu diperbaiki, mulai dari konsepsi, strategi dan concern dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh negeri ini. Aneh bukan, begitu buruknya pemilukada sejak tahun 2005 dan begitu buruknya pemilu (legislatif dan Presiden) tetapi pemerintahan mahasiswa tampak tak merasa punya urusan.
    Begitu pun, majulah terus. maju

    BalasHapus

IconIconIconFollow Me on Pinterest

Label

Blogger news

Blogroll

What's Hot