Rabu, Juli 21, 2010

Melepas Rindu Padanya

Lebih setahun aku tidak pernah lagi singgah ke rumahnya. Sejak tahun lalu aku menemukan kawan baru untuk sekadar berbagi cerita. Aku tahu, dia sendiri. Sepi, pasti. Bahkan tak juga satupun yang pernah, walau hanya sekadar bertanya kabar tentang dirinya. Aku telah lama menanam dan memupuk rindu di rumah itu, hingga tumbuh subur begitu rindang sampai sekarang.

Dan ternyata, dia masih setia dengan seulas senyum di bibir, ketika tadi aku menjumpainya di rumah kami dulu. Aku hanya singgah sebentar. Melihat-lihat, membongkar-bongkar catatan yang tersimpan rapi. Aku tidak pernah tahu, bahkan sampai ketika aku kembali berlalu, bagaimana perasaannya saat itu, saat kami menuai rindu.

Banyak cerita yang terukir, dan kemudian tersimpan dalam sebuah folder yang sudah berganti rupa, tapi masih kuingat alurnya. Pelan, aku mengeja setiap kata yang tertulis di sana. Sembari meraba-raba bayangan itu, agar merupa jelas di benakku. Siang itu, aku kembali bersama bayangannya.

Cerita lama, memang. "Kangen," bisikku dalam hati, meski cerita itu sudah berlalu, dan mungkin telah diselimuti debu dalam ruang-ruang ingatannya. Tapi aku kangen untuk melepas rindu padanya, seperti aku juga melepas rindu pada teman di rumah yang tadi sempat kusinggahi, walau sejenak.

K-A-N-G-E-N. Pesan itu juga yang sempat kubaca, kutemui di kotak surat yang sudah lama tak pernah kuobrak-abrik lagi, seperti dulu. Ada rindu di sana, aku membacanya. Ya, ada rindu di sana, lebih setahun yang telah melewati kita. Walau aku tidak tahu lagi, apakah rindu itu masih tertanam di hatimu. Jelas, pastinya rindu itu tidak akan pernah lagi berpucuk.

Kusempatkan untuk mengirimimu pesan, tentang rinduku juga pada rindu lama itu. Ah, aku baru sadar, ternyata sudah lama tak ada kabar darimu. Benar, memang tak mesti lagi dirimu selalu mengirim kata padaku. Makanya lebih baik aku yang bertanya.

Yah, sekadar melepas rindu padanya. Seperti yang kulakukan hari ini, di rumah lama, bersama teman yang sudah kulupakan. Maaf, teman yang pernah terlupakan.

Melepas rindu padanya, pada Friendster-ku yang sudah tak pernah lagi kujamah.

di depan laptop di meja kerjaku, siang itu.
Medan, 21 Juli 2010
{ Read More }


Selasa, Juli 06, 2010

Martabak Mesir : Cita Rasa Timur Tengah di Tanah Deli

Banyak varian martabak yang bisa kita jumpai di Kota Medan ini. Salah satunya adalah martabak mesir. Martabak yang dicampur dengan potongan daging ini, jelas jauh berbeda dengan martabak telur yang biasa dikenal orang sebagai martabak india atau martabak medan. Medan Bisnis sempat mencicipi martabak mesir buatan Buffet Ahmad Salim, salah satu rumah makan martabak mesir yang cukup punya nama di Tanah Deli ini.

Menurut cerita yang beredar di kalangan penikmat kuliner, asal muasal martabak adalah dari Mesir dan kemudian menyebar ke India. Lewat penyebaran budaya negara Mahatma Gandhi inilah kemudian martabak melanglang buana ke Indonesia, seiring dengan masuknya ajaran agama Islam yang dibawa para pedagang India dan Pakistan.


Dalam perkembangannya, muncul berbagai jenis martabak di Pulau Sumatera. Ada martabak medan yang merupakan martabak telur, martabak bangka (Bangka Belitung) yang sejatinya adalah martabak manis, dan martabak kubang (Sumatera Barat) yang sejenis martabak mesir. Martabak yang terakhir ini ternyata juga ada di Medan.


Buffet Ahmad Salim merupakan salah satu rumah makan yang ikut memasyarakatkan makanan tersebut di Medan. Berdiri sejak 1986, sekitar 24 tahun yang lalu, saat itu lidah orang Medan belum terbiasa dengan martabak mesir. “Sekarang sudah terkenal dan digemari. Setiap malam minggi atau malam hari-hari libur selalu saja ramai. Makanya saya mohon maaf juga, kalau kadang-kadang pelayanannya lambat atau cepat habis,” cerita pemilik Buffet Ahmad Salim, Abdul Muid Hasan (48) kepada Medan Bisnis.


Awal pertama kali berjualan martabak Mesir, Hasan hanya menumpang dengan satu gerobak di sebuah rumah makan Padang di Jalan Juanda, tepatnya di bekas lokasi Istana Plaza dulu. Saat itu, Hasan yang masih berusia 24 tahun terpikir untuk menjual martabak mesir, karena masih satu-dua orang yang berjualan makanan tersebut di Medan.


Tiga tahun kemudian, sekitar tahun 1989, ia berhasil menyewa sebuah tempat di Jalan Bakti simpang Bromo. Seiring perjalanan waktu, Hasan juga sempat membuka beberapa cabang di sejumlah tempat, termasuk di Jalan Perjuangan. Namun karena keterbatasan SDM, saat ini ia hanya mempertahankan dua cabang di Jalan Bakti. Sedangkan pusatnya sendiri berada di Jalan AR Hakim No 160. Buffet Ahmad Salim buka setiap hari mulai pukul 14.00 siang sampai pukul 24.00 malam.


Menu Favorit

Martabak mesir menjadi menu favorit para pelanggan Buffet Ahmad Salim. Aroma dan rasa khas rempah-rempah yang menyelip di sela-sela campuran daging sapi dibungkus kulit tepung terigu itu memang sangat menggoda selera. Dimakan dengan kuah kecap asam manis, ada sedikit rasa pedas yang menggetarkan lidah dari irisan cabe hijau dalam campuran kuah tersebut. Makanya tak heran jika makanan yang satu ini selalu menjadi idola para penikmat kuliner.


Martabak Mesir


Menurut Hasan, tidak ada resep khusus yang digunakan dalam meracik martabak mesir ini. Bahkan bumbu-bumbunya pun tidak jauh berbeda dengan martabak mesir yang dibuat di rumah makan yang lain. Tetapi tetap saja ada perbedaan rasa pada martabak mesir Buffet Ahmad Salim. “Awalnya, resepnya turunan, sama seperti yang dibuat orang lain. Namun kemudian, saya memberikan inovasi dan modifikasi campuran. Rahasianya, ada pada tangan orang yang membuat,” pungkas Hasan sambil tersenyum membeberkan rahasia kenikmatan martabak mesir yang dibuatnya.


Jika Anda ingin menjadikan martabak mesir ini sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah, juga tidak akan menjadi masalah. Menurut Hasan, martabak mesir bisa tahan dalam waktu 12 jam. Sedangkan, kalau di simpan dalam lemari es, bisa lebih lama lagi, yakni sampai 24 jam. Tapi harus dikukus lagi terlebih dahulu sebelum dimakan. Karena menikmati martabak mesir memang lebih enak ketika masih hangat.


Selain menikmati martabak mesir, pelanggan juga bisa mencoba roti planta khas Buffet Ahmad Salim. Roti ini juga dibuat dari tepung terigu seperti kulit martabak mesir. Bedanya, roti planta tidak memiliki isi seperti martabak mesir yang dicampur daging atau martabak telur. Adonan tepung terigu yang digoreng khusus tersebut dimakan dengan susu coklat kental manis yang dilumuri di atasnya. Cita rasa manis dari susu dan roti tersebut bercampur, menghasilkan kenikmatan yang khas.


“Kalau roti planta ini untuk yang suka manis-manis, karena pakai susu. Buat yang suka pedas, bisa pesan martabak mesir atau martabak telur yang dimakan dengan kuah kari kambing,” tutur Hasan yang merupakan keturunan India dari kakeknya yang berasal dari Malabar, India Selatan itu.


Harganya sendiri juga tidak akan sampai merobek kantong Anda. Seporsi roti planta sudah bisa dinikmati dengan selembar uang lima ribu rupiah. Sedangkan untuk satu porsi martabak mesir hanya cukup membayar Rp 12.000. Begitu pula untuk minuman di rumah makan ini, dimana tersedia berbagai macam jus seharga Rp 6.000, tidak jauh berbeda dengan di rumah makan yang lain.


Nasi Briyani

Selain itu, Buffet Ahmad Salim juga menyediakan nasi khas India, yakni nasi briyani. Namun, menu yang satu ini hanya bisa dinikmati jika telah dipesan terlebih dahulu, minimal 10 porsi. Karena Hasan sendiri mengakui mereka belum bisa menyediakan menu nasi briyani setiap disebabkan masih kekurangan tenaga tukang masak.


“Kita masih kekurangan tukang masak. Selain itu, daging yang dibutuhkan untuk nasi briyani ini juga sangat banyak. Untuk satu porsi saja, bisa menghabiskan 1,5 – 2 ons daging kambing jantan. Daging ini kemudian dicampur dengan nasi. Karena itu makanya nasi briyani lebih mahal, satu porsinya Rp 30.000,” urai Hasan yang memakai nama anak keduanya Ahmad salim sebagai nama rumah makan yang dirintisnya itu.


Meski begitu, menu yang satu ini juga menjadi favorit. Menurut pengakuan Hasan, sering kali orang yang mengadakan pesta memesan ratusan porsi nasi briyani sebagai menu makanan dalam pesta tersebut. Belum lagi martabak mesir dan martabak telur yang yang juga dipesan untuk makanan pesta.


Tak heran juga jika Hasan becita-cita untuk melebarkan sayap bisnis martabak mesirnya ini. Ia berharap suatu saat Buffet Ahmad Salim menjadi rumah makan yang besar dan ada dimana-mana. Apalagi saat ini martabak mesir buatannya sudah terkenal kemana-mana di seantero Kota Medan, bahkan juga sampai ke Deli Serdang dan Tanjung Morawa.


Dilaporkan oleh: Adela Eka Putra Marza

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Minggu, 4 Juli 2010)
{ Read More }


Di Pasar Ular Bisnis Digelar

Tidak kurang dari 20 pedagang kaki lima berjejer di sepanjang Jalan Sutomo, tidak jauh dari Tugu Apollo. Lokasi tersebut dikenal dengan nama Pasar Ular. Tapi jangan salah, tidak satu pun pedagang tersebut yang berjualan ular di sana. Meski demikian, tetap saja barang dagangannya berbeda dengan para pedagang yang biasa dijumpai di berbagai pasar di Kota Medan ini. Ya, para pedagang di Pasar Ular menjajakan barang-barang bekas yang unik dan antik.

Pasar Ular, dari namanya saja sudah membuat kita bertanya-tanya. Tidak banyak warga Medan yang tahu keberadaan Pasar Ular yang berjarak sekitar lima menit dari Pasar Sambu ini. Pasar yang menjual barang-barang loak ini memang hanya dikenal oleh segelintir orang, terutama para kolektor yang hobi mengumpulkan barang-barang bekas yang menarik. Bagi para pemain baru dalam dunia koleksi-mengkoleksi barang-barang antik, Pasar Ular memang menjadi salah satu lokasi yang musti disambangi.

Menurut Kakek Mas Sirun, salah seorang pedagang di Pasar Ular, pasar ini awalnya sama sekali tidak punya nama. “Dulu tidak ada namanya, disebut pajak (pasar) loak saja. Kemudian, saya iseng-iseng sama kawan, gimana kita sebut pasar ini. Pasar Ular saja, saya bilang. Kenapa gitu? Yang jual ‘ular’, yang beli ‘ular’ juga,” cerita pria berumur 85 tahun itu kepada Medan Bisnis.

Maksudnya, orang-orang di pasar ini baik yang datang maupun penjual tingkahnya seperti ‘ular’, alias tidak ada yang benar. “Harga seribu di sini bisa jadi lima ribu, jadi berlipat-lipat. Padahal barang yang kita jual dibeli dengan harga murah. Makanya harus pandai menawar juga,” tambah pria setengah baya yang akrab di panggil Kakek itu.

Diceritakan lagi oleh Kakek, Pasar Ular ini muncul sejak tahun 1987. Mereka berjualan di lokasi tersebut karena tidak lagi mendapatkan tempat untuk berjualan dengan harga yang sesuai kemampuan. Akhirnya mereka pun menggelar lapak-lapak dagangan di sepanjang pinggir jalan raya tersebut. “Di sini tempatnya strategis. Barang-barang yang tidak ada dijual di tempat lain, di sini dijual. Bahkan kita yang jualan di sini, sembarangan mau jual apa,” tutur Kakek yang telah berjualan di pasar ini sejak pertama kali dibuka, sekitar 23 tahun yang lalu.

Jumlah pedagangnya, dulu juga tidak sebanyak saat ini. Sekarang ada sekitar 20-an pedagang yang ikut mengaiz rezeki di Pasar Ular ini. Sedangkan pedagang-pedagang tua yang seangkatan dengan Kakek, kebanyakan sudah meninggal. Saat ini, hanya tinggal tiga orang pedagang senior yang tersisa di pasar ini. Kakek sendiri merupakan salah satu ‘orang lama’, dan yang paling tua di sana.

Mata Uang Kuno

Beraneka ragam barang-barang bekas bisa dijumpai di Pasar Ular ini. Mulai dari peralatan kendaraan, barang elektronik, barang rumah tangga, jam tangan bekas, kamera jadul, sepatu, pakaian, hingga mata uang kuno pun ada di sini. Kakek Mas Sirun adalah satu-satunya pedagang yang khusus menjual mata uang kuno sejak awal pasar ini muncul. Mata uang kuno tersebut terdiri atas mata uang kertas dan mata uang koin yang tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga ada mata uang luar negeri.

“Ada uang koin dari luar negeri seperti Australia, Thailand dan Rusia. Ada juga uang koin dari zaman penjajahan Belanda. Kalau uang kertas dari Indonesia saja, mulai dari tahun 1970-an,” jelas Kakek yang juga berjualan di Pasar V Marelan setiap paginya. Kakek mendapatkan mata uang kuno itu dari berbagai tempat dan orang yang mau menjual kepadanya. Selain itu, beberapa di antaranya juga merupakan simpanan Kakek sendiri.

Mata uang kuno ini tentu saja menjadi buruan para kolektor yang dikenal sebagai dunia numismatik tersebut. Menurut pengakuan Kakek, banyak kolektor yang sering menyambangi lapaknya. Bahkan ada juga pejabat dan pembeli dari luar kota. Para kolektor ini akan membeli berapa pun harga mata uang kuno tersebut yang nilainya tentu saja sangat tinggi. Apalagi jika kondisinya “UNC” alias “uncirculed”, yang artinya belum pernah digunakan. Bagi para kolektor, uang dengan kondisi UNC adalah yang terbaik, karena masih mulus dan belum ada bekas lipatan. Kian tahun harga uang kuno ini pun juga akan semakin meningkat, disesuaikan dengan katalog yang beredar setiap tahunnya.

Kakek sendiri pernah menjual satu set uang kertas zaman Presiden RI pertama Soekarno seharga dua juta rupiah. Uang tersebut terdiri atas beberapa mata uang kertas satu rupiah hingga seribu rupiah. Bahkan pada tahun 2000, koleksi mata uang kunonya pernah diborong seorang kolektor hingga Rp 37 juta saat ia mengikuti pameran di salah satu plaza di Medan. Sedangkan saat ini, mata uang Ringgit keluaran kolonialis Belanda di Malaysia menjadi koleksi mata uang kunonya yang paling mahal. Satu ringgit yang nilainya sama dengan 2,5 gulden bisa dihargai hingga Rp 125.000, sedangkan satu gulden seharga Rp 25.000.

Selain menjual mata uang kuno, Kakek juga menjual batu cincin yang memang banyak disimpannya dari dulu. Jam tangan bekas, prangko dan materai lama, serta keris-keris mini yang bertuah juga dijual oleh Kakek yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah dan saat ini tinggal di Jalan Gaharu, Medan itu. Ia mengaku bisa mengantongi pendapatan yang lumayan dari penjualan barang-barang tersebut, selain juga ditambah uang pensiunannya dari Brimob untuk membiayai kehidupan keluarganya.

Unik dan Antik

Ponsel bekas dari berbagai merek ternyata juga banyak diperjualbelikan di Pasar Ular. Bahkan, pasar ini juga dikenal orang sebagai salah satu tempat penjualan ponsel-ponsel bekas yang murah meriah. Salah satunya, Iwan (27) yang telah berjualan di pasar ini sejak delapan tahun yang lalu. Pria tersebut khusus menjual ponsel-ponsel bekas lengkap dengan aksesorisnya. Harganya tentu saja tidak semahal jika membeli di plaza atau mall. Tapi soal kualitas, barang-barang tersebut masih layak diacungi jempol.

Beda lagi dengan Rahmat (25). Pria yang baru saja ikut berjualan di Pasar Ular ini sejak setahun yang lalu, menjual sejumlah lukisan di Pasar Ular. Harganya pun berbeda-beda, berkisar antara ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. “Harga lukisan dilihat buatannya dari mana. Kalau buatan lokal harganya sekitar Rp 100 ribu. Sedangkan lukisan yang dari Cina, kalau lukisan lama bisa sampai jutaan, bahkan puluhan juta. Tergantung pelukisnya juga. Saya pernah menjual lukisan dari Cina yang paling mahal senilai Rp 25 juta sekitar setahun yang lalu,” cerita Rahmat kepada Medan Bisnis.

Bahkan menurut pengakuan Rahmat, ia juga memiliki lukisan asli milik seorang pelukis kenamaan dari Spanyol, yakni Pablo Picasso. Rahmat mengaku lukisan yang didapatkan dari kakeknya itu pernah ditawar oleh seseorang dengan harga “wah”, yakni tiga miliar rupiah. Namun, ia tidak bersedia melepaskan lukisan tersebut. Karena, ia baru akan menjual lukisan itu saat hidupnya sudah sekarat, alias tidak punya apa-apa lagi.

Selain menjual lukisan, ia juga menjual guci-guci keramik kuno, jam tangan, batu cincin, barang elektronik, dan kaset tape bekas. Bagi Anda yang hobi mengkoleksi kaset tape lama yang saat ini sudah tidak beredar lagi, lapak Rahmat ini bisa menjadi salah satu tujuan Anda. Harganya hanya lima ribu perak per kasetnya.

Dilaporkan: Adela Eka Putra Marza

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Minggu, 27 Juni 2010)

{ Read More }


Selasa, September 15, 2009

Bicara Pada Langit

menyendiri
sendiri adalah sepi. warnanya temaram, tidak segelap malam. baunya menyengat, lidah api menjilat. suaranya sengau, isak kecil pada lampau.
sendiri bisa jadi mati. menepi di ujung pasti. menyerah pada masa. bersekutu dengan waktu.
pada akhir, itu pilihan takdir.
sendiri. sepi. mati. pasti.

bersama angin
karena pantai adalah pertemuan. saat gulungan ombak dipaksa berakhir. berbuih. beriak-riak kecil. terhempas sudah. berakhir.
karena pantai adalah tepi. garis kita memandang jauh. menerabas angin dan kibasan ikan-ikan.
maka diam tak menyerah adalah aku. selalu tak kalah oleh waktu. seperti pantai setia halau gelombang menderu. seperti lautan luas menghampar tak ada tentu.

di laut lepas
dan laut adalah lepas. luas. sejauh pandang menembus bebas. hingga titik garis tipis menuju batas.
dan laut adalah setia. selamanya. mengirim ombak pada pasir di tanah. menitip buih sebagai tanda cinta.
tapi nelayan masih sendiri. sepi. di antara riak-riak kecil yang berbuih. menepuk-nepuk perahu bertepi. menawar takdir yang tak sudi. sampai pagi akan berbaik hati.

marah
galau itu sembunyi. rentan pengecut. picik tak mampu menengadah. kilah tak kuasa. aku sampai di sini, ucapnya. aku hanya ini, katanya. karena aku pun kekurangan, dalihnya.
tak sadar titik air pun mampu bongkahkan keras batu. tak nyana seekor lebah pun sanggup tunaskan beribu tanaman lain.

pada ego
karena sepi aku sembunyi. karena tahu mimpi tak berarti. karena kesempatan tak diberi. karena takdir sudah pergi.
karena tumbang aku menghilang. karena malam telah datang. karena tak ada benderang. karena menang tak lagi berbilang.
dan aku adalah sendiri.

menyendiri
bersama angin
di laut lepas
marah
pada ego

* antara mati & hati;
Adela Eka Putra Marza - Aidin Alaik Bahtiar

dalam dunia maya, 05/09/09 : 17:24

{ Read More }


Kamis, September 10, 2009

Pema: Untuk Apa dan Untuk Siapa?

* Sebuah catatan menjelang Pemilu USU 2009


Sebuah kemerdekaan dalam berdemokrasi, akhirnya lahir ketika rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998. Gerakan reformasi yang membawa panji-panji demokrasi berkibar di seluruh penjuru negeri ini, membawa ruh kebebasan bagi setiap pergerakan rakyat. Tentunya juga bagi mahasiswa yang menjadi ujung tombak perubahan besar menuju reformasi ini, sebagai insan-insan yang secara kapasitas intelektual lebih maju selangkah dibanding dengan masyarakat awam.


Betapa tidak, selama puluhan tahun pergerakan mahasiswa dikekang oleh pemerintah dengan pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Namun, sejak keluarnya SK Mendikbud No 155/u/1998 tanggal 30 Juni 1998 tentang Pemerintahan Mahasiswa (Pema), menjadi jaminan hukum bagi mahasiswa untuk berserikat dan berorganisasi secara bebas dengan Pema sebagai wadahnya. Inilah angin segar bagai kehidupan kampus yang lebih demokratis.


Sebagai langkah awal pergerakan mahasiswa yang lebih terstruktur, Pema menjadi wadah utama untuk menempah mental-mental calon pemimpin bangsa ke depannya. Mahasiswa-mahasiswa yang independen, demokratis dan berpihak kepada kebenaran, menjadi tujuan akhir dari semua ini demi perubahan bangsa dan negara menuju ke arah positif.


Wadah Aspirasi Mahasiswa

Mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang dinamis dan progresif mempunyai peran utama sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) dan agen kontrol sosial (agent of social control) di tengah-tengah masyarakat. Dengan peranannya itu, diharapkan mahasiswa bisa melakukan perubahan-perubahan di lingkungan kampus dan masyarakat, menuju ke arah yang lebih positif untuk membangun bangsa dan negara.


Semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian, juga menjadi roh dalam pergerakan mahasiswa sebagai tonggak awal perubahan. Roh inilah yang kemudian menghidupkan jiwa-jiwa mahasiswa untuk membawa bangsa dan negara menuju kemerdekaan yang hakiki, yaitu kemerdekaan dari kebodohan dan ketidakadilan.


Pada dasarnya, kekuatan ini jugalah yang menjadi batas-batas gerak dalam pelaksanaan roda-roda Pema. Pema harus mampu menjalankan peranan tersebut sesuai dengan tugas yang menjadi roh utama dalam peregerakan mahasiswa. Pema-lah yang menjadi wadah untuk menampung semua gerakan-gerakan mahasiswa demi terwujudnya cita-cita menuju ke arah perubahan tersebut.


Pema harus mampu menjadi wadah untuk menampung dan mempersatukan segala aspirasi dan kepentingan semua elemen mahasiswa. Pada akhirnya Pema-lah yang menjadi pemegang komando tertinggi untuk mengarahkan pergerakan mahasiswa menuju perubahan yang dicita-citakan. Bukan untuk mewujudkan kepentingan sekelompok pihak yang berkuasa saja.


Selain itu, Pema juga harus bisa menjadi penghubung antara mahasiswa dengan pihak birokrat kampus. Dalam hal ini, Pema harus mengabil peranan sebagai pihak yang harus memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Tapi bukan berarti juga Pema akan menjadi “benalu” bagi pihak kampus sendiri. Sebagai kelompok intelektual yang diberi amanah untuk mengemban kepercayaan seluruh mahasiswa, Pema tentu bisa menjadi negosiator dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan mahasiswa.


Kepentingan Segelintir Orang

Namun, mewujudkan peranan tersebut memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi jika perjuangan yang pada dasarnya ditopang roh demokrasi tersebut telah disusupi virus-virus kepentingan masing-masing kelompok. Sehingga yang berkuasa hanya memanfaatkan masa-masa jabatannya untuk menikmati kursi empuk kekuasaan. Tujuan awal perjuangan pun sudah terpinggirkan jauh, bahkan mungkin telah terlupakan.


Kepentingan kelompok selalu menjadi persoalan utama dalam perjalanan politik di muka bumi ini. Selalu ada persaingan yang dikendarai oleh kepentingan masing-masing kelompok, demi memperebutkan kursi kekuasaan, termasuk dalam dunia politik Pema sendiri. Kepentingan yang akhirnya memaksa setiap pihak yang bersaing harus saling menjatuhkan, demi merengkuh kekuasaan dan kenikmatan berkuasa tersebut.


Makanya tak heran jika seringkali terjadi pergesekan di tengah-tengah mahasiswa, karena masing-masing membawa kepentingan kelompoknya sendiri. Ujung-ujungnya, perpecahan di tengah-tengah mahasiswa pun tidak terelakkan lagi. Primordialisme kelompok menjadi ego utama, yang akhirnya meminggirkan semangat perjuangan mahasiswa menuju perubahan positif tadi.


Berlajar berorganisasi dan berpolitik kampus selalu menjadi dalih sebagai pelapis tujuan tersembunyinya untuk memperebutkan kekuasaan di tengah-tengah mahasiswa. Padahal, esensi dari belajar berorganisasi dan berpolitik kampus itu sebenarnya sudah tak lagi menjadi pembelajaran. Yang ada malah belajar bermain politik kotor, saling menjatuhkan lawan dan kemudian menikmati kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya.



Penting Atau Tidak Penting?

Ketika tujuan awal dari berorganisasi dan berpolitik dalam Pema sudah tidak menjadi azas utama lagi dalam menjalankan politik Pema tersebut, tujuan akhirnya pun juga sudah berubah haluan. Pada awalnya untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi mahasiswa, beralih kepada kepentingan kelompoknya sendiri. Perjuangan sudah bergeser dari tujuan awal yang dicita-citakan.


Lihat saja ulah Presiden Mahasiswa (Presma) USU yang “memakan” masa dua tahun dalam jabatannya, padahal konstitusi mengatur hanya untuk satu tahun. Apakah yang didapatkannya selama menjadi Presma sehingga membuatnya tak mau melepaskan jabatan itu? Kita tidak tahu sama sekali apa itu. Pastinya ada sesuatu hal yang membuatnya begitu ingin menikmati kekuasaan itu lebih lama.


Atau cerita dua calon Presma USU yang berebut kursi kekuasaan, dengan melakukannya apa saja demi mempertahankan kekuasaan yang katanya menjadi “hak”-nya itu. Bahkan sempat terjadi bentrok antar mahasiswa hanya gara-gara kedua pihak berebut untuk menduduki kantor Pema USU. Kasus ini juga yang kemudian membawa Pema USU menuju kebobrokan terparah dalam dunia politik; dualisme kepemimpinan.


Jika sudah demikian, siapa lagi yang akan percaya kepada Pema. Tak aneh jika melihat jumlah pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) USU tahun 2008 lalu, hanya diikuti segelintir dari puluhan ribu mahasiswa USU. Lalu yang lain kemana? Bisa jadi mereka sudah apatis dengan kehadiran Pema di tengah-tengah mahasiswa. Karena memang tidak ada dampak sama sekali terhadap kehidupan mereka di kampus.


Para mahasiswa ini juga tidak bisa disalahkan. Karena mereka memang mereka tidak punya kepentingan dengan apa dan siapa yang akan duduk di kursi Presma. Makanya jangan selalu berkoar-koar tentang mahasiswa apatis, seolah-olah menunjukkan pada semua orang bahwa Anda adalah benar-benar aktivis. Sudah benarkah yang Anda lakukan? Jika belum, lebih baik diam. Karena semua mahasiswa tahu seperti apa Pema itu.


Pertanyaan terakhir yang muncul, bagaimana kalau seandainya Pema tidak usah ada di kampus ini? Jika melihat realitas Pema USU saat ini, penulis yakin hampir sebagian mahasiswa USU akan menjawab sama, tidak ada masalah. Toh, sejauh ini memang tidak ada dampak positif langsung yang bisa dirasakan oleh mahasiswa dengan kehadiran Pema.


Lalu, apakah kita akan berhenti di titik ini? Silahkan cari jawabannya sendiri. Ini bukan soal kekuasaan semata, tapi bicara tentang makna perjuangan mahasiswa. Anda sendiri mungkin mengerti, jika masih menyandang gelar “mahasiswa.”

{ Read More }


IconIconIconFollow Me on Pinterest

Label

Blogger news

Blogroll

What's Hot